Selasa, 16 Januari 2018

THE RIGHT MAN IN THE RIGHT TIME - Ree Suwandi


PROLOG


Tiga undangan walimah kuterima hari ini, dari teman satu organisasi, rekan kerja di kantor, dan dari pernghuni apartemen sebelah. Sabtu dan Ahad ini sudah dapat dipastikan aku akan kembali menjadi bulan-bulanan kenalanku di acara tersebut.
Mereka selalu saja menanyakan hal yang sama padaku, setiap aku menghadiri acara semacam itu,”KAPAN MENYUSUL?”.
Sedikit malu memang, karena sampai saat ini aku masih bertahan menyandang status ‘The Jones’. Meskipun sudah beberapa kali aku mencoba untuk menemukan sosok pasangan yang akan kujadikan teman sepanjang hidupku kelak.
Tapi apa daya, semua yang kulakukan itu hanyalah sebatas usaha atau ikhtiar. Namun yang menentukan hasilnya tetaplah Sang Pemilik Takdir, dan sampai detik ini aku masih belum juga diketemukan dengan pemilik tulang rusuk yang ada pada diriku.
Dengan seiring berjalannya waktu, niat untuk terus berusaha perlahan mulai memudar, dan parahnya keinginan untuk menikah pun sedikit mulai terlupakan dalam benakku. Akan tetapi setelah beberapa bulan belakangan ini, aku selalu mendapatkan undangan walimah. Jadi sepertinya aku harus mulai lagi memasukan harapan untuk dapat segera bertemu dengan calon imamku ke dalam list do’a yang akan kupanjatkan di sepertiga malam-malamku.
Mencoba menjadi pribadi yang kuat, sabar dan selalu ikhlas dalam masa penantian ini. Juga berusaha untuk terus meningkatkan kualitas ibadah dan memperkaya khasanah ilmu tentangnya, agar kelak benar-benar siap jika Allah Ta’alla berkenan mempertemukanku dengan pangeran hati. *Fizria Syahputri.


***

SATU

BAD MOOD MODE-ON


“Mba Zia, besok dateng ke resepsinya Wulan sama siapa?” Sinta- rekan satu devisi di kantor itu bertanya, saat kami sedang menikmati makan siang di kantin bersama dua rekan lainnya.
Salah satu karyawan ditempatku bekerja yang bernama Wulan memang Ahad esok akan mengadakan acara walimah, dan tentu saja kami semua sebagai sesama rekan kerjanya turut diundang pada acara tersebut.
“Kenapa memang Sin?” balasku.
“Kalau Mba nggak keberatan aku mau ngajak Mba pergi bareng,” sahut Sinta.
“Kenapa nggak pergi sama suamimu seperti biasanya Sin?” kali ini Mila- rekanku lainnya yang menyahut. Sinta memang sudah menikah setahun yang lalu, meski ia jauh lebih muda empat tahun dariku. Sedangkan Mila usianya setahun lebih tua dariku, ia seorang single parent setelah perceraiannya dua tahun lalu.
“Suami aku lagi di luar kota Mba Mila, jum’at depan baru pulang” lanjut Sinta menjelaskan,
“Iya boleh kok, insya Allah besok aku jemput kamu” ucapku seraya menyendokkan makanan ke dalam mulutku.
“Kalian jam berapa kesananya? Janjian yuk, biar bisa bareng ketemuan disananya” Mba Yuni, manager pemasaran atasan kami ikut bersuara.
Meski beliau memiliki jabatan tinggi, tapi jika sedang berkumpul begini kami semua akan menjadi akrab, layaknya teman. Usia beliau baru tigapuluhan, jadi kami semua masih terlihat seumuran.
“Setelah shalat Dzuhur gimana, Mba?” usul Sinta.
“Undangannya dari jam sebelas siang sampai jam enam sore kan?” tanya Mba Mila.
“Iya Mba, gimana? Hitung-hitung jam makan siang Mba ke tempat acaranya” Sinta meminta persetujuan usulannya tadi.
“Ok ba’da Dzuhur aku kerumahmu, Sin” sahutku.
“Ok deh, jadi habis Dzuhur kita kesana, tapi diusahakan jam satu sudah ada disana ya?” Mba Yuni kembali menimpali.
“Iya Mba,” sahutku dan Mila bersamaan, sedangkan Sinta hanya mengangguk tanda setuju.
“Jadi Mba Zia nanti sebelum jemput aku bisa BBM-an dulu, biar aku bisa siap-siap sebelumnya,” ucapnya kemudian.
“Iya insya Allah,” balasku singkat setelah menelan makanan yang ada di mulutku.
“Jangan sampe nggak dijemput lho Mba, aku kan nggak bisa nyetir, biar dirumah ada mobil punya suami, dan lagi aku males banget ke undangan naik taksi, sendirian lagi” tambahnya.
“Iya Sin, kamu tenang aja,”.
“Bulan ini banyak banget yang nikahan ya?” Mba Mila melanjutkan obrolan disela waktu menikmati santap siang kami.
“Iya Mba, hampir setiap bulan belakangan ini aku juga selalu mendapat undangan walimah, mungkin lagi musimnya...” jawab Sinta. Sebenarnya topik pembicaraan ini membuatku sedikit kurang nyaman, dan tentu saja alasannya sudah jelas.
“Memang cuma di Indonesia deh, negara yang punya musim paling banyak diantara negara-negara lain di dunia,” lanjut Mba Mila.
“Iya Mba, ada musim duren, musim rambutan, musim banjir, musim kawin, bahkan ada juga musim cerai, seperti artis-artis kita..” celetuk Sinta yang disambut senyuman oleh semua yang ada dimeja kami, termasuk aku.
“Di meja ini masih ada satu jomblo ya, kapan nih undangannya?” Mba Yuni mulai menyindirku jika topik tentang masalah perkawinan sudah terangkat ke permukaan.
“Belum ketemu jodohnya Mba,” jawabku klise.
“Zia mau aku carikan?” Mba Mila ikut mengodaku.
“Kalau aku terserah bagaimana keputusan Sang Pemilik Takdir sih? Masalah jodoh kan sudah ada yang mengatur,” jawabku lagi dengan nafsu makan yang tiba-tiba menghilang.
“Atau Mba mau aku kenalin lagi dengan teman suamiku? Bukankah jodoh juga musti dicari Mba?” lanjut Sinta lagi-lagi membuat moodku semakin memburuk. Wanita itu memang pernah sekali mencoba mengenalkanku dengan sahabat suaminya, tapi aku sama sekali tidak berminat. Bukannya aku sombong atau apa, tapi memang aku tidak terlalu suka berbasa basi dengan lawan jenis.
Sejak zaman di sekolah dulu, aku memang sangat membatasi pergaulanku dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki. Karena Abah telah menanamkan pondasi pendidikan agama pada anak-anaknya, agar selalu takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’alla.
Jadi aku juga saudaraku yang lainnya sudah mengerti, kami berusaha tidak melakukan perbuatan yang tidak disukai atau dilarang oleh-Nya. Dan berkhalwat merupakan salah satu perkara yang diharamkan dalam syariat agama kami.
“Mba Zia,” panggilan yang disertai tepukan pelan Sinta dilenganku sedikit mengejutkan. “Mba melamun ya?” lanjutnya.
“Eh sorry Sin, sudah pada selesaikan makannya? Kita balik yuk...” sahutku yang sejenak tadi sempat terbuai oleh lamunan.
“Tapi makanan punya Mba belum habis!”.
Aku beranjak dari tempat dudukku sebelum menjawab pertanyaannya. “Aku sudah kenyang Sin, yuk langsung balik keatas aja,” ajakku pada mereka semua. Setelah melirik kearah piring-piring lainnya, memang hanya piringku yang isinya masih setengah. Tapi aku sudah benar-benar tidak berselera lagi untuk menghabiskannya.
Setelah melihat aku mulai bangkit, mereka bertiga pun akhirnya ikut mengekor tindakanku. Lalu kami semua menuju ke arah lift yang akan membawa kami kembali ke tempat kerja.
Kantor kami memang terletak di lantai delapan gedung tersebut, sedangkan kantin tempat kami makan siang adanya di lantai dasar. Bangunan perkantorannya sendiri memiliki limabelas lantai, dengan ratusan ruangan dan ditempati oleh beberapa perusahaan yang sengaja menyewanya, seperti halnya perusahaan tempat kami bekerja.
Dan setelah sampai di meja kerjaku, aku merasa sudah tidak bersemangat lagi untuk melanjutkan pekerjaan yaitu memeriksa laporan yang aku tinggalkan sebelum makan siang tadi. Pembicaraan di kantin itu, benar-benar telah membuat aku dalam kondisi bad mood mode-on yang parah.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CERPEN - MENGGENANG BIDADARI

     Samarinda hari ini gerimis      Meski kemarin sangat panas      Cuaca mudah sekali berubah      Seperti hati...      Yang selal...