PROLOG
Tiga undangan walimah kuterima
hari ini, dari teman satu organisasi, rekan kerja di kantor, dan dari pernghuni
apartemen sebelah. Sabtu dan Ahad ini sudah dapat dipastikan aku akan kembali
menjadi bulan-bulanan kenalanku di acara tersebut.
Mereka selalu saja menanyakan hal
yang sama padaku, setiap aku menghadiri acara semacam itu,”KAPAN MENYUSUL?”.
Sedikit malu memang, karena
sampai saat ini aku masih bertahan menyandang status ‘The Jones’. Meskipun
sudah beberapa kali aku mencoba untuk menemukan sosok pasangan yang akan
kujadikan teman sepanjang hidupku kelak.
Tapi apa daya, semua yang
kulakukan itu hanyalah sebatas usaha atau ikhtiar. Namun yang menentukan
hasilnya tetaplah Sang Pemilik Takdir, dan sampai detik ini aku masih belum
juga diketemukan dengan pemilik tulang rusuk yang ada pada diriku.
Dengan seiring berjalannya waktu,
niat untuk terus berusaha perlahan mulai memudar, dan parahnya keinginan untuk
menikah pun sedikit mulai terlupakan dalam benakku. Akan tetapi setelah beberapa
bulan belakangan ini, aku selalu mendapatkan undangan walimah. Jadi sepertinya
aku harus mulai lagi memasukan harapan untuk dapat segera bertemu dengan calon
imamku ke dalam list do’a yang akan kupanjatkan di sepertiga malam-malamku.
Mencoba menjadi pribadi yang
kuat, sabar dan selalu ikhlas dalam masa penantian ini. Juga berusaha untuk
terus meningkatkan kualitas ibadah dan memperkaya khasanah ilmu tentangnya,
agar kelak benar-benar siap jika Allah Ta’alla berkenan mempertemukanku dengan
pangeran hati. *Fizria Syahputri.
***
SATU
BAD MOOD MODE-ON
“Mba Zia, besok dateng ke resepsinya
Wulan sama siapa?” Sinta- rekan satu devisi di kantor itu bertanya, saat kami
sedang menikmati makan siang di kantin bersama dua rekan lainnya.
Salah satu karyawan ditempatku
bekerja yang bernama Wulan memang Ahad esok akan mengadakan acara walimah, dan
tentu saja kami semua sebagai sesama rekan kerjanya turut diundang pada acara
tersebut.
“Kenapa memang Sin?” balasku.
“Kalau Mba nggak keberatan aku
mau ngajak Mba pergi bareng,” sahut Sinta.
“Kenapa nggak pergi sama suamimu
seperti biasanya Sin?” kali ini Mila- rekanku lainnya yang menyahut. Sinta
memang sudah menikah setahun yang lalu, meski ia jauh lebih muda empat tahun
dariku. Sedangkan Mila usianya setahun lebih tua dariku, ia seorang single
parent setelah perceraiannya dua tahun lalu.
“Suami aku lagi di luar kota Mba
Mila, jum’at depan baru pulang” lanjut Sinta menjelaskan,
“Iya boleh kok, insya Allah besok
aku jemput kamu” ucapku seraya menyendokkan makanan ke dalam mulutku.
“Kalian jam berapa kesananya? Janjian
yuk, biar bisa bareng ketemuan disananya” Mba Yuni, manager pemasaran atasan
kami ikut bersuara.
Meski beliau memiliki jabatan
tinggi, tapi jika sedang berkumpul begini kami semua akan menjadi akrab, layaknya
teman. Usia beliau baru tigapuluhan, jadi kami semua masih terlihat seumuran.
“Setelah shalat Dzuhur gimana,
Mba?” usul Sinta.
“Undangannya dari jam sebelas
siang sampai jam enam sore kan?” tanya Mba Mila.
“Iya Mba, gimana? Hitung-hitung
jam makan siang Mba ke tempat acaranya” Sinta meminta persetujuan usulannya
tadi.
“Ok ba’da Dzuhur aku kerumahmu,
Sin” sahutku.
“Ok deh, jadi habis Dzuhur kita
kesana, tapi diusahakan jam satu sudah ada disana ya?” Mba Yuni kembali
menimpali.
“Iya Mba,” sahutku dan Mila
bersamaan, sedangkan Sinta hanya mengangguk tanda setuju.
“Jadi Mba Zia nanti sebelum
jemput aku bisa BBM-an dulu, biar aku bisa siap-siap sebelumnya,” ucapnya
kemudian.
“Iya insya Allah,” balasku
singkat setelah menelan makanan yang ada di mulutku.
“Jangan sampe nggak dijemput lho
Mba, aku kan nggak bisa nyetir, biar dirumah ada mobil punya suami, dan lagi
aku males banget ke undangan naik taksi, sendirian lagi” tambahnya.
“Iya Sin, kamu tenang aja,”.
“Bulan ini banyak banget yang
nikahan ya?” Mba Mila melanjutkan obrolan disela waktu menikmati santap siang
kami.
“Iya Mba, hampir setiap bulan
belakangan ini aku juga selalu mendapat undangan walimah, mungkin lagi
musimnya...” jawab Sinta. Sebenarnya topik pembicaraan ini membuatku sedikit
kurang nyaman, dan tentu saja alasannya sudah jelas.
“Memang cuma di Indonesia deh,
negara yang punya musim paling banyak diantara negara-negara lain di dunia,”
lanjut Mba Mila.
“Iya Mba, ada musim duren, musim
rambutan, musim banjir, musim kawin, bahkan ada juga musim cerai, seperti
artis-artis kita..” celetuk Sinta yang disambut senyuman oleh semua yang ada
dimeja kami, termasuk aku.
“Di meja ini masih ada satu
jomblo ya, kapan nih undangannya?” Mba Yuni mulai menyindirku jika topik
tentang masalah perkawinan sudah terangkat ke permukaan.
“Belum ketemu jodohnya Mba,”
jawabku klise.
“Zia mau aku carikan?” Mba Mila
ikut mengodaku.
“Kalau aku terserah bagaimana keputusan
Sang Pemilik Takdir sih? Masalah jodoh kan sudah ada yang mengatur,” jawabku
lagi dengan nafsu makan yang tiba-tiba menghilang.
“Atau Mba mau aku kenalin lagi
dengan teman suamiku? Bukankah jodoh juga musti dicari Mba?” lanjut Sinta
lagi-lagi membuat moodku semakin memburuk. Wanita itu memang pernah sekali
mencoba mengenalkanku dengan sahabat suaminya, tapi aku sama sekali tidak
berminat. Bukannya aku sombong atau apa, tapi memang aku tidak terlalu suka
berbasa basi dengan lawan jenis.
Sejak zaman di sekolah dulu, aku
memang sangat membatasi pergaulanku dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki.
Karena Abah telah menanamkan pondasi pendidikan agama pada anak-anaknya, agar
selalu takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’alla.
Jadi aku juga saudaraku yang
lainnya sudah mengerti, kami berusaha tidak melakukan perbuatan yang tidak
disukai atau dilarang oleh-Nya. Dan berkhalwat merupakan salah satu perkara
yang diharamkan dalam syariat agama kami.
“Mba Zia,” panggilan yang
disertai tepukan pelan Sinta dilenganku sedikit mengejutkan. “Mba melamun ya?”
lanjutnya.
“Eh sorry Sin, sudah pada
selesaikan makannya? Kita balik yuk...” sahutku yang sejenak tadi sempat
terbuai oleh lamunan.
“Tapi makanan punya Mba belum
habis!”.
Aku beranjak dari tempat dudukku
sebelum menjawab pertanyaannya. “Aku sudah kenyang Sin, yuk langsung balik
keatas aja,” ajakku pada mereka semua. Setelah melirik kearah piring-piring
lainnya, memang hanya piringku yang isinya masih setengah. Tapi aku sudah
benar-benar tidak berselera lagi untuk menghabiskannya.
Setelah melihat aku mulai
bangkit, mereka bertiga pun akhirnya ikut mengekor tindakanku. Lalu kami semua
menuju ke arah lift yang akan membawa kami kembali ke tempat kerja.
Kantor kami memang terletak di
lantai delapan gedung tersebut, sedangkan kantin tempat kami makan siang adanya
di lantai dasar. Bangunan perkantorannya sendiri memiliki limabelas lantai,
dengan ratusan ruangan dan ditempati oleh beberapa perusahaan yang sengaja
menyewanya, seperti halnya perusahaan tempat kami bekerja.
Dan setelah sampai di meja
kerjaku, aku merasa sudah tidak bersemangat lagi untuk melanjutkan pekerjaan
yaitu memeriksa laporan yang aku tinggalkan sebelum makan siang tadi.
Pembicaraan di kantin itu, benar-benar telah membuat aku dalam kondisi bad mood mode-on yang parah.
***