SATU
Indah
bulan purnama mengantung dilangit, sepoi angin dari jendela kamar yang sengaja
kubuka menerpa wajah. Pucuk-pucuk cemara dihalaman rumah nampak bergoyang
seolah menari mengikuti irama alam menghasilkan suara sendu nan mengusik kalbu.
Disaat sepi kian mencekam, seolah ada rasa yang tidak kutahu pasti bergejolak
di hati.
Anganku
melayang pada kenangan masa lalu, saat kebahagiaan masih bersama keluargaku. Ada Papa yang sering menemaniku,
menatap bulan dan menikmati desauan angin dari balik jendela kamar ini. Waktu
itu aku dan Ana- adikku masih kecil. Kami sangat senang ketika Papa mendongeng
tentang kisah putri bulan dan ksatria bintang sebagai penghantar tidur.
Hari-hari
penuh kebahagiaan itu tidak akan pernah aku lupakan, meski waktu duapuluh tahun telah berlalu. Kebahagiaan itu
sangat singkat, namun meninggalkan kesan mendalam dihatiku. Tapi kini hanya
kebencian saja yang tersisa, berkesumat memenuhi relung jiwaku saat ada mahluk
sejenis Papa yang mencoba mendekat padaku terlebih pada Ana.
Tidak
peduli apa yang mau dikatakan orang-orang tentangku, wanita diusia 33 tahun
masih belum menikah. Biarlah mereka bergunjing macam-macam, yang terpenting aku
tidak mengantungkan hidupku pada mereka. Aku sudah cukup puas dengan hidupku
saat ini, menggantikan Mama menjadi tulang punggung keluarga, menjaga Mama dan
Ana serta mencukupi semua kebutuhan kami bertiga.
Aku
ingin sekali membahagiakan Mama, karena beliau adalah sosok teladanku. Mama
adalah segala-galanya untukku, karenanya Aku tidak pernah berniat mencari
pasangan agar membentuk keluargaku sendiri. Aku tidak akan meninggalkan Mama
dan Ana seperti yang dilakukan Papa pada kami.
Walau
Mama mencoba terlihat tegar dihadapan kami- kedua putrinya, tapi aku tahu ada
luka mendalam dihatinya. Jadi Aku berpikir walau hanya kami bertiga, tapi kami
bisa bahagia dan saling menjaga satu sama lain. Hidupku hanya untuk Mama dan
Ana, selama jiwaku masih setia menemani raga ini aku akan selalu berada disisi
mereka.
Meski
sudah beberapa kali Mama mencoba mengenalkan Aku dengan sosok lawan jenis,
namun Aku selalu punya seribu alasan untuk menolak. Bahkan Aku dengan sengaja
mengabaikan temu janji dengan para kaum Adam yang telah Mama atur untukku.
Sampai akhirnya Mama menyerah setelah tahu alasanku tidak ingin berhubungan
dengan mahluk lawan jenis tersebut.
Namun
kini persoalan yang menganggu pikiranku adalah Ana. Belakangan ini adikku itu
tampak sibuk sekali, sampai-sampai keberadaannya dirumah sangat jarang
terlihat. Dia memang tengah fokus pada kuliahnya, tapi bukan itu yang membuatku
uring-uringan. Kedekatannya dengan Rafi, yang diakuinya sebagai temanlah
menjadi sang penyebab.
Aku
tidak akan ambil pusing jika Ana hanya sibuk pada kegiatan kuliahnya, bahkan
sebagai penanggung jawab masa depannya aku akan senang sekali kalau dia dapat
menyelesaikan studinya dengan cepat. Tapi tidak untuk urusan lain diluar itu,
terlebih yang ada kaitannya dengan mahluk lawan jenis. Dan aku tidak menuduh
tanpa bukti, kalau hubungan Ana dan Rafi tidak hanya sebatas teman.
Ketika
aku melihat keintiman adikku dengan Rafi, tiba-tiba darahku terasa mendidih.
Apa tidak cukup satu mahluk bernama pria merampas kebahagian kami? Apa belum
puas ia menghancurkan keutuhan keluargaku? Kenapa Rafi harus hadir mengusik kedamaian
hidup kami bertiga dan merampas perhatian Ana?
Aku
tidak akan membiarkan Rafi menyakiti adikku. Aku tidak mau luka lama yang
digoreskan Papa kembali terjadi dirumah kami. Sebagai kakaknya, aku berhak
memberi nasihat dan pengertian pada Ana. Tidak akan aku biarkan ada kumbang
yang hendak mengisap sari dari bunga dirumah kami.
Bukankah
semua laki-laki itu bencana yang mengerikan bagi kaum wanita? Mereka sangat
suka bermain-main dengan kaumku, dan setelah berhasil mendapatkan keinginannya
lalu mereka pergi. Mereka menganggap wanita adalah kaum yang lemah dan mudah
dibodohi. Hingga mereka bisa sesuka hati bertindak sewenang-wenang, menindas
dan melecehkan.
Cukup
hanya Mama yang mengalami kesewenangan Papa. Aku tidak ingin ada korban lain
dari rumah ini atas perbuatan mahluk sejenisnya. Cukup Mama yang menderita
karena Papa tidak menghargai cintanya, pengorbanannya menghadirkan aku dan Ana.
Hanya karena permintaan konyol orangtua Papa.
***
“Dari
mana kamu sampai pulang malam begini?” tegurku pada Ana saat ia baru tiba
dirumah, terlambat dua jam dari peraturan jam malam yang kubuat. Tadi aku
melihat dari jendela kamarku yang ada dilantai dua rumah, dia diantar Rafi. Aku
sengaja menunggungnya malam ini karena ada hal yang ingin kusampaikan.
“Belajar
kelompok. Kenapa Kak? Aku capek!” Ana berhenti sejenak saat menjawabku, tapi
setelah itu ia terus melangkah menuju kamarnya yang berada tepat disamping
kamarku.
“Belajar
apa sampai larut begini?” kejarku mengikutinya dibelakang.
Setelah
meletakan tasnya diatas meja, ia berbalik menghadapku. “Maaf Kak, aku...”
“Apa
nggak cukup jelas permintaan kakak tempo hari? Atau sekarang kamu sudah nggak
menganggap omongan kakak lagi?” potongku cepat disertai emosi yang mulai
tersulut.
“Kak,
aku...” ucapnya pelan dan tertahan.
“Apa
kamu sudah dimabuk asmara dengan Rafi, sampai melupakan norma-norma yang pernah
diajarkan?” amarah menguasai pikiranku saat aku teringat apa yang tadi kulihat.
Waktu Rafi menghantar Ana, mereka berciuman didepan pagar rumah.
Menyadari
kesalahannya, Ana hanya mampu menundukkan kepala.
“Dimana
akal sehatmu membiarkan laki-laki menciummu begitu saja? Atau bahkan kamu sudah
menyerahkan tubuhmu juga?” aku semakin tidak terkendali dan kulihat Ana mulai
terisak.
“Jawab
Ana! Jangan sembunyi dibalik airmata palsumu. Apa benar itu, hah? ” tuntutku
semakin garang.
“Ke-kenapa
Kak Ifa, tega me-nuduhku begitu?” sahutnya lirih disela isak tangisnya. Ana
mengangkat kepalanya menatapku dengan wajah yang penuh airmata. Tapi aku tidak
iba sama sekali melihatnya, sebab kemarahan membutakan hati nuraniku.
“Apa
kamu mau menjadi korban seperti Mama?” lanjutku seraya menguncang tubuh Ana
dengan kedua tangan yang kucengkramkan dipundaknya.
“Korban
apa, Kak?”
“Korban
laki-laki tidak bertanggung jawab, Ana!” bentakku.
“Ana
nggak tahu maksud, Kakak?” jawabnya seraya mengusap airmata.
“Apa
kamu masih belum sadar, kalau laki-laki cuma berniat memanfaatkan kamu untuk
kesenangannya saja? Lihat nanti setelah dia puas mendapatkan yang dimau, pasti
kamu juga akan ditinggalkan seperti Papa yang meninggalkan Mama, meninggalkan
kita”.
“Kakak
jangan menyamakan semua laki-laki seperti Papa. Rafi nggak sama, Kak! Dia
laki-laki baik, dan aku mencintainya. Kakak boleh membenci laki-laki, tapi
jangan halangi aku buat jatuh cinta” bantahan Ana yang membela kekasihnya
semakin menyulut emosiku.
“Ana
nggak seperti Kakak yang anti laki-laki, aku nggak mau menjadi perawan tua...”
tambahnya lagi.
Kini
darahku terasa naik sampai ke ubun-ubun. Aku tidak pernah menyangka Ana akan
melawanku demi membela jenis mahluk yang sangat kubenci. Hatiku terluka dengan
perkataannya. Adikku yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan kelembutan
Mama, dia yang selalu kujaga selama ini telah berani melawanku. Inikah karma
untukku? Hukuman karena telah membenci sosok seseorang yang darahnya mengalir
dalam tubuhku.
Dan
entah bisikan setan apa yang membuat aku tiba-tiba melayangkan tanganku dengan
keras ke pipi Ana. Plaakk!
Demi
Tuhan, aku sudah benar-benar tidak sadar dengan apa yang aku lakukan. Hal ini
pertama kalinya aku tidak mampu mengendalikan amarahku, sampai-sampai aku
menampar adikku satu-satunya.
Lalu
ditengah keterkejutan atas perbuatan yang baru saja aku lakukan, kulihat Ana
mengusap pipinya yang memerah. Kini airmatanya pun semakin menderas, tapi itu
tidak mampu mengugahku. Kebencianku terhadap laki-laki semakin menjadi setelah
dia secara terang-terangan membela kekasihnya.
“Aku
rasa kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu sudah berani melawan kakak. Apa
kamu nggak ingat apa yang sudah kakak lakukan untukmu selama ini?”
Ana
masih larut dengan tangisannya dan tidak menjawab. Untung saja malam ini Mama
tidak ada dirumah, sebab beliau menginap dirumah Julak Ibnu yang akan mengadakan acara pengajian untuk mendiang
mertuanya besok. Mama diminta membantu disana sejak tadi pagi dan tidak
diperkenankan pulang malam ini, maka aku bisa bebas mengeluarkan isi hatiku.
“Apa
kamu sudah lupa yang terjadi sama Mama, dengan keluarga kita Ana? Apa kamu
nggak merasakan penderitaan Mama saat Papa pergi? Hanya karena alasan tradisi darah
biru, mereka nggak bisa menerima Mama karena nggak berasal dari kalangan
ningrat dan sederajat, hingga mereka tega menghancurkan keluarga kita.
Padahal
perkawinan Papa dan Mama nyata-nyata sah dimata agama dan negara. Aku,
kamu...kita lahir dari hasil perkawinan itu, kita bukan anak haram. Tapi Papa
masih tega meninggalkan kita disaat Mama sangat membutuhkan dukungannya... kita
membutuhkan kasih sayangnya...” sampai disitu aku tidak lagi dapat membendung
airmataku yang sedari tadi menyesakan dada lantaran kutahan.
Hatiku
benar-benar sakit, terluka oleh perlakuan Papa. Pria yang dulu sangat aku
sayangi, aku banggakan, kusanjung dan ku idolakan. Aku jatuh terduduk di tepi
tempat tidur Ana, kini aku ikut larut dalam tangis kesedihan.
“Ana
minta maaf Kak, tapi Papa nggak bersalah” kurasakan Ana mendekat kearahku.
“Nggak
seharusnya Kak Ifa membenci Papa seperti ini. Memang waktu Papa pergi Ana masih
kecil dan nggak tahu apa-apa. Tapi Mama sudah menceritakan semuanya sama Ana,
Kak. Kita nggak selayaknya membenci Papa, karena kepergian Papa bukan karena
keinginannya sendiri” perkataan Ana semakin menghancurkan perasaanku.
Aku
tidak tahan lagi mendengar Ana membela sosok pria bergelar Papa yang hampir dua
dasawarsa tidak pernah menampakan batang hidungnya sama sekali dihadapan kami.
Segera kutinggalkan kamar adikku, setengah berlari menuju kamarku sendiri.
“Kak...”
kuhiraukan panggilan Ana yang berusaha mengikuti. Setelah sampai dikamar, aku
langsung mengunci pintunya dari dalam. Tidak lama kemudian aku mendengar Ana
mengetuk diluar sana, tapi aku mengacuhkannya.
“Kak,
Kak Ifa... Kakak harus dengar! Aku sama Mama sudah memaafkan Papa, Kak. Dan aku
berharap Kak Ifa juga bisa memaafkan Papa...” suara teriakan Ana terdengar
didepan pintu. Aku mencoba menutup telingaku dengan bantal sembari merebahkan
tubuh lelahku diatas ranjang.
Untuk
beberapa saat aku samar mendengar Ana masih berbicara, tapi aku tidak cukup
jelas mencernanya karena benda yang menghalangi gendang telingaku untuk dapat
menerima suaranya.
Selang
sekian menit kemudian, saat kurasa Ana sudah pergi dari depan pintu kamarku.
Aku mulai menjauhkan bantal dari kepalaku, dan kini aku tidur dalam posisi
terlentang. Pandangan mataku lurus menatap langit-langit kamar yang polos tanpa
ornamen seperti dimasa lalu, aku menghela napas panjang berusaha mengurai beban
yang menghimpit didadaku.
Kembali
anganku teringat akan kenangan manis, saat Papa masih bersama kami. Memori itu
bermunculan satu per satu. Ketika itu aku masih duduk di kelas satu Madrasah Tsanawiyah dan Ana dikelas dua Ibtidaiyah. Jarak usia aku dan Ana
memang cukup jauh, sebab sebelum kelahiran Ana, Mama pernah dua kali mengalami
keguguran. Sampai akhirnya adikku itu menjadi anggota baru dirumah kami, tapi
setelahnya dokter mengatakan bahwa Mama tidak mungkin dapat mengandung lagi.
Sebab ada tumor yang menyerang kantong rahim beliau, sehingga harus
merelakannya untuk diangkat.
Saat
mendengar kabar itu, kami begitu sedih terlebih Papa. Beliau sampai menangis
seraya memelukku, dan sempat kudengar Papa berucap lirih bahwa ia telah gagal menjadi
penerus keluarga karena tidak dapat memenuhi keinginan kedua orangtuanya.
Pada
waktu itu aku masih belum mengerti jelas akan maksud perkataan beliau. Tapi
setelah beberapa tahun kemudian, barulah aku paham dan itulah titik awal
munculnya rasa benciku pada Papa. Kebencian yang teramat sangat hingga mendarah
daging memenuhi seluruh relung jiwaku.
Ketika
Ana mulai sekolah, kehidupan kami sekeluarga begitu sempurna. Papa dan Mama
sangat memanjakan kami. Apalagi perusahaan Papa hasil kerjasamanya dengan Julak Ibnu semakin berkembang, hingga
mampu menghasilkan pundi-pundi pendapatan yang melimpah. Jadi kupikir tidak ada
alasan untuk mengatakan rumah tangga Papa dan Mama tidak bahagia, bahkan itu
terlalu melampaui kata sempurna.
Sampai-sampai
sebagai wujud rasa syukur kami, Papa memberangkatkan semua keluarga ke tanah
suci untuk menunaikan ibadah haji. Tidak hanya Papa, Mama, aku dan Ana tapi
kami juga mengajak Kaik dan Nini- kedua orangtua Mama ikut serta.
Selama ini memang hanya mereka berdua yang kami kenal sebagai Kakek dan Nenek,
sebab aku dan Ana tidak pernah mengenal sosok kedua orangtua Papa.
Namun
kebahagiaan tersebut tidak berlaku selamanya menjadi milik kami. Suatu hari
rumah kami kedatangan tamu dari pulau Jawa yang sebelumnya tidak pernah aku
temui. Setelah Papa menjelaskan, barulah aku mengerti. Ternyata mereka adalah
orangtua Papa yang sudah bertahun-tahun tidak pernah ketemu, lebih tepatnya
sejak Papa merantau ke Kalimantan hingga menetap dan berkeluarga disini.
Bukan
karena Papa yang durhaka, atau kami yang tidak ingin menemui mereka melainkan
kedua sosok paruh baya itulah yang tidak ingin ditemui. Mereka memang tidak
pernah merestui pernikahan Papa dengan Mama karena alasan status sosial yang
berbeda.
Maklum
saja keluarga Papa memang memiliki garis keturunan darah biru, mereka berasal
dari kaum ningrat keraton kesultanan. Jadi wajar saja saat Papa memilih
menikahi Mama yang notabene hanya wanita biasa tanpa gelar Raden Ayu atau apalah, mereka murka hingga tidak ingin berhubungan
dengan kami. Tapi mengapa sekarang mereka ada dihadapan kami? Aku tidak tahu.
Papa
meminta aku dan Ana memanggil keduanya dengan sebutan Eyang Kakung untuk laki-laki yang mengenakan pakaian mirip tokoh
dalang ternama, yang membintangi salah satu iklan obat sakit kepala dengan
jargon ‘pancen oye’. Dan sebutan Eyang
Putri untuk wanita berkebaya lengkap dengan sanggul bundar diatas kepala yang
duduk disampingnya.
Semenjak
kehadiran kedua Eyang dirumah kami
itu, aku merasa begitu takut untuk keluar dari kamar seperti biasa saat
menghabiskan waktu bersama Papa dan Mama juga Ana. Semakin hari aku lebih
senang mengurung diri didalam kamar saat berada dirumah.
Begitu
juga dengan Ana yang memilih bermain dengan boneka-bonekanya dikamar, daripada
ketaman yang ada dihalaman depan rumah dimana terdapat ayunan yang biasa kami
mainkan bersama.
Lama-kelamaan
aku jadi tidak betah dirumah, dan aku mulai pandai berbohong untuk terus
mencari alasan pulang terlambat. Sampai akhirnya aku tidak lagi memperhatikan
perkembangan yang terjadi didalam rumah.
Aku
tidak tahu bahwa ada perubahan besar tengah berproses dalam bahtera rumah
tangga Papa dan Mama. Tidak ada lagi yang namanya kebersamaan, seperti dulu
sebelum kedatangan Eyang dirumah
kami. Hari-hari yang biasa kami lalui dengan ceria, penuh canda tawa tidak
pernah ada lagi. Kini Papa sering pulang hingga larut malam.
Sampai
sebulan lebih kedua Eyang itu tinggal
dirumah kami, tapi masih belum ada tanda-tanda mereka akan pergi. Justru
keadaan bertambah parah, sebab kini yang mengambil kendali dirumah adalah Eyang Putri.
Fungsi
Mama sebagai ratu dirumah kami tidak kurasakan lagi, akibat campur tangan Eyang Putri yang sudah mulai menerapkan
beberapa peraturan yang mengekang kami. Aku dan Ana sering terkena marah akibat
melanggar aturannya.
Dan
anehnya, Mama tidak pernah membela kami. Beliau hanya memandangi kami
seolah-olah tidak punya kuasa apa-apa terhadap kami anak-anaknya. Padahal kami
kan anak kandungnya! Sudah barang tentu aku tidak terima dan mulai protes pada
Mama.
“Ma,
kenapa Mama nggak belain aku waktu Eyang
Putri marah tadi?” aku menangis dikamar saat Mama datang menghampiri, usai
dimarahi Eyang Putri gara-gara
terlambat pulang les.
“Maafin
Mama ya sayang,” sahutnya lirih. Aku melihat ada raut kesedihan diwajah
cantiknya yang selama ini selalu aku kagumi.
“Ma,
sebenarnya ada apa dengan keluarga kita? Kenapa Eyang Kakung sama Eyang Putri
masih disini? Apa mereka akan terus tinggal bersama kita? Ifa nggak suka mereka
ada dirumah kita, Ma?” rajukku.
“Ifa
nggak boleh ngomong begitu! Mereka berdua juga Kakek dan Nenek kamu, sama seperti
Kaik dan Nini. Jadi kamu harus menghormati mereka” Mama bersikap bijak
seperti biasa.
“Tapi
Ma, sejak ada mereka kita sudah jarang berkumpul lagi. Sekarang Papa dan Mama
nggak pernah mengajak aku dan Ana jalan-jalan, piknik dan makan bersama
direstoran. Sekarang malah Papa selalu pulang larut malam terus? Apa sebenarnya
yang terjadi, Ma?” kembali aku mengajukan pertanyaan pada beliau. Tapi bukannya
menjawab, Mama langsung merengkuhku ke dalam dekapannya. Lalu diusapnya
punggungku dan sekilas kurasakan ciuman dikepalaku.
Aku
seolah merasakan kembali limpahan kasih sayang Mama yang sudah lebih dari
sebulan tidak kurasakan. Aku pun membalas memeluk Mama dengan kepala bersandar
manja didada beliau, dan aku menemukan kehangatan dan kedamaian disana.
Cukup
lama kami saling berpelukan, sembari sesekali kurasakan usapan lembut tangan
Mama dikepalaku yang masih tertutup jilbab seragam sekolah. Setelah aku merasa
ada yang tidak beres dengan sikap Mama aku sedikit bergerak untuk menegadahkan
kepala, mencoba menatap wajah wanita yang telah melahirkanku itu.
Dan
betapa terkejutnya saat melihat wajah Mama basah oleh airmata. “Kenapa Mama menangis?”
tanyaku seraya menyentuh pipi putih beliau untuk mengusap airmatanya.
“Mama
nggak apa-apa, sayang” gelengnya sambil mencoba tersenyum setelah menghapus
airmatanya. “Ayo cepat, Ifa harus mandi. Sebentar lagi maghrib, habis sholat
nanti baru kita makan ya?” lanjut Mama
mengalihkan perhatian dengan membuka jilbabku, lalu membimbingku menuju
arah kamar mandi.
“Kalau
Ifa nggak mau makan di bawah, nanti Mama bawakan makanannya kesini. Sekarang
Mama mau lihat Ana dikamarnya, siapa tahu dia masih tidur? Mama mau bangunin
dia...” tambahnya seolah membaca pikiranku sebelum berlalu.
Begitulah
Mama, selalu memendam perasaannya sendiri. Beliau tidak ingin membagi
masalahnya dengan oranglain walaupun itu orang terdekatnya. Mama lebih memilih menyimpan
semua menjadi rahasia.
Dan
hal itu sangat menyiksaku, lantaran rasa penasaran yang mengelitik batin. Tapi
tetap saja aku tidak bisa berbuat apa-apa, mungkin Mama masih menganggapku anak
kecil sehingga merasa belum saatnya menjadi teman berbagi untuknya.
***
Catatan.
Julak
: Sebutan untuk saudara tua dari pihak Ibu/Ayah (bahasa daerah Kalimantan)
seperti halnya Bu’de/Pakde di Jawa atau Om/Tante.
Madrasah Tsanawiyah
: Tempat pendidikan/sekolah Islam setingkat SLTP.
Madrasah Ibtidaiyah
: Sekolah Islam setingkat SD.
Kaik
: Panggilan untuk Kakek (bahasa Banjar)
Nini
: Panggilan untuk Nenek (bahasa Banjar)
Eyang Kakung :
Kakek (Jawa)
Eyang Putri
: Nenek (Jawa)