Senin, 06 Februari 2017

Novel "HATI YANG TERLUKA" Part 1



SATU

Indah bulan purnama mengantung dilangit, sepoi angin dari jendela kamar yang sengaja kubuka menerpa wajah. Pucuk-pucuk cemara dihalaman rumah nampak bergoyang seolah menari mengikuti irama alam menghasilkan suara sendu nan mengusik kalbu. Disaat sepi kian mencekam, seolah ada rasa yang tidak kutahu pasti bergejolak di hati.
Anganku melayang pada kenangan masa lalu, saat kebahagiaan masih bersama  keluargaku. Ada Papa yang sering menemaniku, menatap bulan dan menikmati desauan angin dari balik jendela kamar ini. Waktu itu aku dan Ana- adikku masih kecil. Kami sangat senang ketika Papa mendongeng tentang kisah putri bulan dan ksatria bintang sebagai penghantar tidur.
Hari-hari penuh kebahagiaan itu tidak akan pernah aku lupakan, meski waktu  duapuluh tahun telah berlalu. Kebahagiaan itu sangat singkat, namun meninggalkan kesan mendalam dihatiku. Tapi kini hanya kebencian saja yang tersisa, berkesumat memenuhi relung jiwaku saat ada mahluk sejenis Papa yang mencoba mendekat padaku terlebih pada Ana.
Tidak peduli apa yang mau dikatakan orang-orang tentangku, wanita diusia 33 tahun masih belum menikah. Biarlah mereka bergunjing macam-macam, yang terpenting aku tidak mengantungkan hidupku pada mereka. Aku sudah cukup puas dengan hidupku saat ini, menggantikan Mama menjadi tulang punggung keluarga, menjaga Mama dan Ana serta mencukupi semua kebutuhan kami bertiga.
Aku ingin sekali membahagiakan Mama, karena beliau adalah sosok teladanku. Mama adalah segala-galanya untukku, karenanya Aku tidak pernah berniat mencari pasangan agar membentuk keluargaku sendiri. Aku tidak akan meninggalkan Mama dan Ana seperti yang dilakukan Papa pada kami.
Walau Mama mencoba terlihat tegar dihadapan kami- kedua putrinya, tapi aku tahu ada luka mendalam dihatinya. Jadi Aku berpikir walau hanya kami bertiga, tapi kami bisa bahagia dan saling menjaga satu sama lain. Hidupku hanya untuk Mama dan Ana, selama jiwaku masih setia menemani raga ini aku akan selalu berada disisi mereka.
Meski sudah beberapa kali Mama mencoba mengenalkan Aku dengan sosok lawan jenis, namun Aku selalu punya seribu alasan untuk menolak. Bahkan Aku dengan sengaja mengabaikan temu janji dengan para kaum Adam yang telah Mama atur untukku. Sampai akhirnya Mama menyerah setelah tahu alasanku tidak ingin berhubungan dengan mahluk lawan jenis tersebut.
Namun kini persoalan yang menganggu pikiranku adalah Ana. Belakangan ini adikku itu tampak sibuk sekali, sampai-sampai keberadaannya dirumah sangat jarang terlihat. Dia memang tengah fokus pada kuliahnya, tapi bukan itu yang membuatku uring-uringan. Kedekatannya dengan Rafi, yang diakuinya sebagai temanlah menjadi sang penyebab.
Aku tidak akan ambil pusing jika Ana hanya sibuk pada kegiatan kuliahnya, bahkan sebagai penanggung jawab masa depannya aku akan senang sekali kalau dia dapat menyelesaikan studinya dengan cepat. Tapi tidak untuk urusan lain diluar itu, terlebih yang ada kaitannya dengan mahluk lawan jenis. Dan aku tidak menuduh tanpa bukti, kalau hubungan Ana dan Rafi tidak hanya sebatas teman.
Ketika aku melihat keintiman adikku dengan Rafi, tiba-tiba darahku terasa mendidih. Apa tidak cukup satu mahluk bernama pria merampas kebahagian kami? Apa belum puas ia menghancurkan keutuhan keluargaku? Kenapa Rafi harus hadir mengusik kedamaian hidup kami bertiga dan merampas perhatian Ana?
Aku tidak akan membiarkan Rafi menyakiti adikku. Aku tidak mau luka lama yang digoreskan Papa kembali terjadi dirumah kami. Sebagai kakaknya, aku berhak memberi nasihat dan pengertian pada Ana. Tidak akan aku biarkan ada kumbang yang hendak mengisap sari dari bunga dirumah kami.
Bukankah semua laki-laki itu bencana yang mengerikan bagi kaum wanita? Mereka sangat suka bermain-main dengan kaumku, dan setelah berhasil mendapatkan keinginannya lalu mereka pergi. Mereka menganggap wanita adalah kaum yang lemah dan mudah dibodohi. Hingga mereka bisa sesuka hati bertindak sewenang-wenang, menindas dan melecehkan.
Cukup hanya Mama yang mengalami kesewenangan Papa. Aku tidak ingin ada korban lain dari rumah ini atas perbuatan mahluk sejenisnya. Cukup Mama yang menderita karena Papa tidak menghargai cintanya, pengorbanannya menghadirkan aku dan Ana. Hanya karena permintaan konyol orangtua Papa.
***
“Dari mana kamu sampai pulang malam begini?” tegurku pada Ana saat ia baru tiba dirumah, terlambat dua jam dari peraturan jam malam yang kubuat. Tadi aku melihat dari jendela kamarku yang ada dilantai dua rumah, dia diantar Rafi. Aku sengaja menunggungnya malam ini karena ada hal yang ingin kusampaikan.
“Belajar kelompok. Kenapa Kak? Aku capek!” Ana berhenti sejenak saat menjawabku, tapi setelah itu ia terus melangkah menuju kamarnya yang berada tepat disamping kamarku.
“Belajar apa sampai larut begini?” kejarku mengikutinya dibelakang.
Setelah meletakan tasnya diatas meja, ia berbalik menghadapku. “Maaf Kak, aku...”
“Apa nggak cukup jelas permintaan kakak tempo hari? Atau sekarang kamu sudah nggak menganggap omongan kakak lagi?” potongku cepat disertai emosi yang mulai tersulut.
“Kak, aku...” ucapnya pelan dan tertahan.
“Apa kamu sudah dimabuk asmara dengan Rafi, sampai melupakan norma-norma yang pernah diajarkan?” amarah menguasai pikiranku saat aku teringat apa yang tadi kulihat. Waktu Rafi menghantar Ana, mereka berciuman didepan pagar rumah.
Menyadari kesalahannya, Ana hanya mampu menundukkan kepala.
“Dimana akal sehatmu membiarkan laki-laki menciummu begitu saja? Atau bahkan kamu sudah menyerahkan tubuhmu juga?” aku semakin tidak terkendali dan kulihat Ana mulai terisak.
“Jawab Ana! Jangan sembunyi dibalik airmata palsumu. Apa benar itu, hah? ” tuntutku semakin garang.
“Ke-kenapa Kak Ifa, tega me-nuduhku begitu?” sahutnya lirih disela isak tangisnya. Ana mengangkat kepalanya menatapku dengan wajah yang penuh airmata. Tapi aku tidak iba sama sekali melihatnya, sebab kemarahan membutakan hati nuraniku.
“Apa kamu mau menjadi korban seperti Mama?” lanjutku seraya menguncang tubuh Ana dengan kedua tangan yang kucengkramkan dipundaknya.
“Korban apa, Kak?”
“Korban laki-laki tidak bertanggung jawab, Ana!” bentakku.
“Ana nggak tahu maksud, Kakak?” jawabnya seraya mengusap airmata.
“Apa kamu masih belum sadar, kalau laki-laki cuma berniat memanfaatkan kamu untuk kesenangannya saja? Lihat nanti setelah dia puas mendapatkan yang dimau, pasti kamu juga akan ditinggalkan seperti Papa yang meninggalkan Mama, meninggalkan kita”.
“Kakak jangan menyamakan semua laki-laki seperti Papa. Rafi nggak sama, Kak! Dia laki-laki baik, dan aku mencintainya. Kakak boleh membenci laki-laki, tapi jangan halangi aku buat jatuh cinta” bantahan Ana yang membela kekasihnya semakin menyulut emosiku.
“Ana nggak seperti Kakak yang anti laki-laki, aku nggak mau menjadi perawan tua...” tambahnya lagi.
Kini darahku terasa naik sampai ke ubun-ubun. Aku tidak pernah menyangka Ana akan melawanku demi membela jenis mahluk yang sangat kubenci. Hatiku terluka dengan perkataannya. Adikku yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan kelembutan Mama, dia yang selalu kujaga selama ini telah berani melawanku. Inikah karma untukku? Hukuman karena telah membenci sosok seseorang yang darahnya mengalir dalam tubuhku.
Dan entah bisikan setan apa yang membuat aku tiba-tiba melayangkan tanganku dengan keras ke pipi Ana. Plaakk!
Demi Tuhan, aku sudah benar-benar tidak sadar dengan apa yang aku lakukan. Hal ini pertama kalinya aku tidak mampu mengendalikan amarahku, sampai-sampai aku menampar adikku satu-satunya.
Lalu ditengah keterkejutan atas perbuatan yang baru saja aku lakukan, kulihat Ana mengusap pipinya yang memerah. Kini airmatanya pun semakin menderas, tapi itu tidak mampu mengugahku. Kebencianku terhadap laki-laki semakin menjadi setelah dia secara terang-terangan membela kekasihnya.
“Aku rasa kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu sudah berani melawan kakak. Apa kamu nggak ingat apa yang sudah kakak lakukan untukmu selama ini?”
Ana masih larut dengan tangisannya dan tidak menjawab. Untung saja malam ini Mama tidak ada dirumah, sebab beliau menginap dirumah Julak Ibnu yang akan mengadakan acara pengajian untuk mendiang mertuanya besok. Mama diminta membantu disana sejak tadi pagi dan tidak diperkenankan pulang malam ini, maka aku bisa bebas mengeluarkan isi hatiku.
“Apa kamu sudah lupa yang terjadi sama Mama, dengan keluarga kita Ana? Apa kamu nggak merasakan penderitaan Mama saat Papa pergi? Hanya karena alasan tradisi darah biru, mereka nggak bisa menerima Mama karena nggak berasal dari kalangan ningrat dan sederajat, hingga mereka tega menghancurkan keluarga kita.
Padahal perkawinan Papa dan Mama nyata-nyata sah dimata agama dan negara. Aku, kamu...kita lahir dari hasil perkawinan itu, kita bukan anak haram. Tapi Papa masih tega meninggalkan kita disaat Mama sangat membutuhkan dukungannya... kita membutuhkan kasih sayangnya...” sampai disitu aku tidak lagi dapat membendung airmataku yang sedari tadi menyesakan dada lantaran kutahan.
Hatiku benar-benar sakit, terluka oleh perlakuan Papa. Pria yang dulu sangat aku sayangi, aku banggakan, kusanjung dan ku idolakan. Aku jatuh terduduk di tepi tempat tidur Ana, kini aku ikut larut dalam tangis kesedihan.
“Ana minta maaf Kak, tapi Papa nggak bersalah” kurasakan Ana mendekat kearahku.
“Nggak seharusnya Kak Ifa membenci Papa seperti ini. Memang waktu Papa pergi Ana masih kecil dan nggak tahu apa-apa. Tapi Mama sudah menceritakan semuanya sama Ana, Kak. Kita nggak selayaknya membenci Papa, karena kepergian Papa bukan karena keinginannya sendiri” perkataan Ana semakin menghancurkan perasaanku.
Aku tidak tahan lagi mendengar Ana membela sosok pria bergelar Papa yang hampir dua dasawarsa tidak pernah menampakan batang hidungnya sama sekali dihadapan kami. Segera kutinggalkan kamar adikku, setengah berlari menuju kamarku sendiri.
“Kak...” kuhiraukan panggilan Ana yang berusaha mengikuti. Setelah sampai dikamar, aku langsung mengunci pintunya dari dalam. Tidak lama kemudian aku mendengar Ana mengetuk diluar sana, tapi aku mengacuhkannya.
“Kak, Kak Ifa... Kakak harus dengar! Aku sama Mama sudah memaafkan Papa, Kak. Dan aku berharap Kak Ifa juga bisa memaafkan Papa...” suara teriakan Ana terdengar didepan pintu. Aku mencoba menutup telingaku dengan bantal sembari merebahkan tubuh lelahku diatas ranjang.
Untuk beberapa saat aku samar mendengar Ana masih berbicara, tapi aku tidak cukup jelas mencernanya karena benda yang menghalangi gendang telingaku untuk dapat menerima suaranya.
Selang sekian menit kemudian, saat kurasa Ana sudah pergi dari depan pintu kamarku. Aku mulai menjauhkan bantal dari kepalaku, dan kini aku tidur dalam posisi terlentang. Pandangan mataku lurus menatap langit-langit kamar yang polos tanpa ornamen seperti dimasa lalu, aku menghela napas panjang berusaha mengurai beban yang menghimpit didadaku.
Kembali anganku teringat akan kenangan manis, saat Papa masih bersama kami. Memori itu bermunculan satu per satu. Ketika itu aku masih duduk di kelas satu Madrasah Tsanawiyah dan Ana dikelas dua Ibtidaiyah. Jarak usia aku dan Ana memang cukup jauh, sebab sebelum kelahiran Ana, Mama pernah dua kali mengalami keguguran. Sampai akhirnya adikku itu menjadi anggota baru dirumah kami, tapi setelahnya dokter mengatakan bahwa Mama tidak mungkin dapat mengandung lagi. Sebab ada tumor yang menyerang kantong rahim beliau, sehingga harus merelakannya untuk diangkat.
Saat mendengar kabar itu, kami begitu sedih terlebih Papa. Beliau sampai menangis seraya memelukku, dan sempat kudengar Papa berucap lirih bahwa ia telah gagal menjadi penerus keluarga karena tidak dapat memenuhi keinginan kedua orangtuanya.
Pada waktu itu aku masih belum mengerti jelas akan maksud perkataan beliau. Tapi setelah beberapa tahun kemudian, barulah aku paham dan itulah titik awal munculnya rasa benciku pada Papa. Kebencian yang teramat sangat hingga mendarah daging memenuhi seluruh relung jiwaku.
Ketika Ana mulai sekolah, kehidupan kami sekeluarga begitu sempurna. Papa dan Mama sangat memanjakan kami. Apalagi perusahaan Papa hasil kerjasamanya dengan Julak Ibnu semakin berkembang, hingga mampu menghasilkan pundi-pundi pendapatan yang melimpah. Jadi kupikir tidak ada alasan untuk mengatakan rumah tangga Papa dan Mama tidak bahagia, bahkan itu terlalu melampaui kata sempurna.
Sampai-sampai sebagai wujud rasa syukur kami, Papa memberangkatkan semua keluarga ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Tidak hanya Papa, Mama, aku dan Ana tapi kami juga mengajak Kaik dan Nini- kedua orangtua Mama ikut serta. Selama ini memang hanya mereka berdua yang kami kenal sebagai Kakek dan Nenek, sebab aku dan Ana tidak pernah mengenal sosok kedua orangtua Papa.
Namun kebahagiaan tersebut tidak berlaku selamanya menjadi milik kami. Suatu hari rumah kami kedatangan tamu dari pulau Jawa yang sebelumnya tidak pernah aku temui. Setelah Papa menjelaskan, barulah aku mengerti. Ternyata mereka adalah orangtua Papa yang sudah bertahun-tahun tidak pernah ketemu, lebih tepatnya sejak Papa merantau ke Kalimantan hingga menetap dan berkeluarga disini.
Bukan karena Papa yang durhaka, atau kami yang tidak ingin menemui mereka melainkan kedua sosok paruh baya itulah yang tidak ingin ditemui. Mereka memang tidak pernah merestui pernikahan Papa dengan Mama karena alasan status sosial yang berbeda.
Maklum saja keluarga Papa memang memiliki garis keturunan darah biru, mereka berasal dari kaum ningrat keraton kesultanan. Jadi wajar saja saat Papa memilih menikahi Mama yang notabene hanya wanita biasa tanpa gelar Raden Ayu atau apalah, mereka murka hingga tidak ingin berhubungan dengan kami. Tapi mengapa sekarang mereka ada dihadapan kami? Aku tidak tahu.
Papa meminta aku dan Ana memanggil keduanya dengan sebutan Eyang Kakung untuk laki-laki yang mengenakan pakaian mirip tokoh dalang ternama, yang membintangi salah satu iklan obat sakit kepala dengan jargon ‘pancen oye’. Dan sebutan Eyang Putri untuk wanita berkebaya lengkap dengan sanggul bundar diatas kepala yang duduk disampingnya.
Semenjak kehadiran kedua Eyang dirumah kami itu, aku merasa begitu takut untuk keluar dari kamar seperti biasa saat menghabiskan waktu bersama Papa dan Mama juga Ana. Semakin hari aku lebih senang mengurung diri didalam kamar saat berada dirumah.
Begitu juga dengan Ana yang memilih bermain dengan boneka-bonekanya dikamar, daripada ketaman yang ada dihalaman depan rumah dimana terdapat ayunan yang biasa kami mainkan bersama.
Lama-kelamaan aku jadi tidak betah dirumah, dan aku mulai pandai berbohong untuk terus mencari alasan pulang terlambat. Sampai akhirnya aku tidak lagi memperhatikan perkembangan yang terjadi didalam rumah.
Aku tidak tahu bahwa ada perubahan besar tengah berproses dalam bahtera rumah tangga Papa dan Mama. Tidak ada lagi yang namanya kebersamaan, seperti dulu sebelum kedatangan Eyang dirumah kami. Hari-hari yang biasa kami lalui dengan ceria, penuh canda tawa tidak pernah ada lagi. Kini Papa sering pulang hingga larut malam.
Sampai sebulan lebih kedua Eyang itu tinggal dirumah kami, tapi masih belum ada tanda-tanda mereka akan pergi. Justru keadaan bertambah parah, sebab kini yang mengambil kendali dirumah adalah Eyang Putri.
Fungsi Mama sebagai ratu dirumah kami tidak kurasakan lagi, akibat campur tangan Eyang Putri yang sudah mulai menerapkan beberapa peraturan yang mengekang kami. Aku dan Ana sering terkena marah akibat melanggar aturannya.
Dan anehnya, Mama tidak pernah membela kami. Beliau hanya memandangi kami seolah-olah tidak punya kuasa apa-apa terhadap kami anak-anaknya. Padahal kami kan anak kandungnya! Sudah barang tentu aku tidak terima dan mulai protes pada Mama.
“Ma, kenapa Mama nggak belain aku waktu Eyang Putri marah tadi?” aku menangis dikamar saat Mama datang menghampiri, usai dimarahi Eyang Putri gara-gara terlambat pulang les.
“Maafin Mama ya sayang,” sahutnya lirih. Aku melihat ada raut kesedihan diwajah cantiknya yang selama ini selalu aku kagumi.
“Ma, sebenarnya ada apa dengan keluarga kita? Kenapa Eyang Kakung sama Eyang Putri masih disini? Apa mereka akan terus tinggal bersama kita? Ifa nggak suka mereka ada dirumah kita, Ma?” rajukku.
“Ifa nggak boleh ngomong begitu! Mereka berdua juga Kakek dan Nenek kamu, sama seperti Kaik dan Nini. Jadi kamu harus menghormati mereka” Mama bersikap bijak seperti biasa.
“Tapi Ma, sejak ada mereka kita sudah jarang berkumpul lagi. Sekarang Papa dan Mama nggak pernah mengajak aku dan Ana jalan-jalan, piknik dan makan bersama direstoran. Sekarang malah Papa selalu pulang larut malam terus? Apa sebenarnya yang terjadi, Ma?” kembali aku mengajukan pertanyaan pada beliau. Tapi bukannya menjawab, Mama langsung merengkuhku ke dalam dekapannya. Lalu diusapnya punggungku dan sekilas kurasakan ciuman dikepalaku.
Aku seolah merasakan kembali limpahan kasih sayang Mama yang sudah lebih dari sebulan tidak kurasakan. Aku pun membalas memeluk Mama dengan kepala bersandar manja didada beliau, dan aku menemukan kehangatan dan kedamaian disana.
Cukup lama kami saling berpelukan, sembari sesekali kurasakan usapan lembut tangan Mama dikepalaku yang masih tertutup jilbab seragam sekolah. Setelah aku merasa ada yang tidak beres dengan sikap Mama aku sedikit bergerak untuk menegadahkan kepala, mencoba menatap wajah wanita yang telah melahirkanku itu.
Dan betapa terkejutnya saat melihat wajah Mama basah oleh airmata. “Kenapa Mama menangis?” tanyaku seraya menyentuh pipi putih beliau untuk mengusap airmatanya.
“Mama nggak apa-apa, sayang” gelengnya sambil mencoba tersenyum setelah menghapus airmatanya. “Ayo cepat, Ifa harus mandi. Sebentar lagi maghrib, habis sholat nanti baru kita makan ya?” lanjut Mama  mengalihkan perhatian dengan membuka jilbabku, lalu membimbingku menuju arah kamar mandi.
“Kalau Ifa nggak mau makan di bawah, nanti Mama bawakan makanannya kesini. Sekarang Mama mau lihat Ana dikamarnya, siapa tahu dia masih tidur? Mama mau bangunin dia...” tambahnya seolah membaca pikiranku sebelum berlalu.
Begitulah Mama, selalu memendam perasaannya sendiri. Beliau tidak ingin membagi masalahnya dengan oranglain walaupun itu orang terdekatnya. Mama lebih memilih menyimpan semua menjadi rahasia.
Dan hal itu sangat menyiksaku, lantaran rasa penasaran yang mengelitik batin. Tapi tetap saja aku tidak bisa berbuat apa-apa, mungkin Mama masih menganggapku anak kecil sehingga merasa belum saatnya menjadi teman berbagi untuknya.

***
 Catatan.
Julak : Sebutan untuk saudara tua dari pihak Ibu/Ayah (bahasa daerah Kalimantan) seperti halnya Bu’de/Pakde di Jawa atau Om/Tante.
Madrasah Tsanawiyah : Tempat pendidikan/sekolah Islam setingkat SLTP.
Madrasah Ibtidaiyah : Sekolah Islam setingkat SD.
Kaik : Panggilan untuk Kakek (bahasa Banjar)
Nini : Panggilan untuk Nenek (bahasa Banjar)
Eyang Kakung : Kakek (Jawa)

Eyang Putri : Nenek (Jawa)

Sinopsis Novel "SOULMATE" Karya Riri Suwandi


SINOPSIS

Takdir Tuhan telah mempertemukan sepasang insan yang berasal dari dua negara berbeda, Indonesia-Pakistan untuk menyatu dalam ikatan pernikahan. Perbedaan latar belakang budaya, adat kebiasaan, dan bahasa keseharian tidak menghalangi jalannya perjodohan yang didasari rasa hutang budi masa lalu.
Fizria El Jumuah, 23 tahun. Gadis indo-arab lulusan universitas Al Azhar dengan predikat cumlaude, harus mengubur impiannya menjadi wanita karir demi melaksanakan daulat sang ayah untuk segera menikah. Padahal ia baru saja mendapatkan gelar S1, dan masih berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya lagi.
Mohammed Rayyan, 27 tahun adalah pria berkebangsaan Pakistan yang terhubung dengan keluarga Zia sebab kisah di masa lalu mereka. Hasan Zakir Barabah- ayah Zia pernah berhutang nyawa pada Rayyan sekeluarga, lantaran mereka telah menyelamatkan hidupnya dulu saat masih berada di negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar kedua didunia setelah Indonesia tersebut.
Ketika itu Hasan yang menjadi salah satu staf KBRI di Pakistan bersama istri dan putrinya mendapatkan pertolongan dan perlindungan dari keluarga Rayyan ditengah konflik politik yang memanas disana. Walau kejadian tersebut sudah cukup lama berlalu, dan mereka pun sudah terpisah untuk waktu yang sangat panjang. Tetapi Hasan tidak pernah melupakan hutang budinya pada keluarga Punjabi* itu. (*kelompok suku terbesar di Pakistan)
Maka setelah ia kembali dipertemukan dengan Rayyan yang sudah hampir dua tahun bekerja dan menetap di Jakarta. Namun keberadaannya baru diketahui beberapa bulan terakhir, karena perusahaan tempat Rayyan bekerja sedang menjalin kerjasama dengan perusahaan miliknya. Lalu muncullah ide untuk menjodohkan pria tersebut dengan putri sulungnya yang sebentar lagi akan menyelesaikan kuliah di universitas tertua didunia yang ada di Cairo, Mesir.
Walau awalnya Zia merasa keberatan akan keinginan sang ayah, dan berusaha membujuk Hasan untuk menunda proses ta’aruf dengan calon pilihannya itu. Tapi pada akhirnya Zia pun menyerah, lantaran Hasan tetap pada pendiriannya. Dan pertemuan dua keluarga pun terjadi, guna membicarakan perihal rencana pernikahan keduanya.
Saat dipertemuan pertama kali dengan keluarga calon pasangan hidupnya, Zia sangat terkejut setelah menghetahui calon suaminya berasal dari negara Pakistan. Sebuah negara yang sangat ia benci dan selalu ingin dihindarinya, sebab negara itu mengingatkan Zia pada kenangan buruk dimasa lalu. Waktu itu usianya baru lima tahun, ketika dinegara tersebut terjadi konflik perang saudara. Dan dari tragedi itu Zia telah kehilangan sang bunda beserta adik perempuanya yang masih berusia satu tahun.
Lalu sekembalinya ke Indonesia, Hasan memutuskan menikah lagi. Tepat dua tahun setelah kejadian itu, menjadikan Zia memiliki ibu dan saudara tiri. Sebab wanita yang dinikahi ayahnya seorang janda, dengan satu anak perempuan seumuran dirinya.
Namun ternyata, niat Hasan memberi Zia seorang ibu dan teman bermain dirumah malah justru membuatnya tersiksa. Ibu dan saudari tirinya ini memiliki sifat yang sangat buruk. Mereka selalu memperlakukan Zia semena-mena jika sang ayah tidak ada bersamanya. Bermuka dua, licik, gila harta dan sangat matrealistis, dan membuat Zia tidak betah dirumah. Hingga akhirnya ia memutuskan memilih boarding school sejak lulus dari sekolah dasar, daripada harus terus-terusan menerima perlakuan buruk keduanya.
Sampai pada suatu saat, semua kejadian yang dialaminya tersebut menimbulkan satu trauma. Rasa benci yang terpupuk subur, tubuh dan berakar di hatinya. Dan kenangan akan negara penyebab ia kehilangan ibu dan saudari kandungnya, yang akhirnya membuat Zia sangat membenci segala sesuatu yang berkaitan dengan Pakistan. Sebab ia merasa akibat konflik yang terjadi dinegara itulah yang menyebabkan dirinya mengalami semua kesedihan, kemalangan dalam hidupnya, juga kehilangan perhatian dan kasih sayang Hasan seutuhnya.
Lalu untuk menghindari perjodohan tersebut Zia menyusun rencana, agar pernikahannya dengan pria pilihan sang ayah jangan sampai terjadi. Ia melakukan segala upaya untuk mengacaukan persiapan pernikahan, tapi ternyata justru hal tersebut membuat dirinya semakin mengenal sifat dan kepribadian Rayyan. Ada satu perasaannya mulai hadir mengelitik hatinya, perlahan mulai meruntuhkan rasa marah dan benci sebab trauma masa lalunya selama ini.
Seiring kedekatan mereka, Zia seolah mendapat pencerahan bahwa jika Rayyan memanglah pasangan yang dipilihkan Tuhan untuk menjadi jodohnya. Sebab ia selalu merasakan ada sebuah kekuatan seperti kutub magnet yang menariknya untuk mendekat pada Rayyan. Sementara Rayyan mendapat keyakinan dari dalam dirinya bahwa Zia adalah bagian tulang rusuknya, belahan jiwa pelengkap hidupnya yang selama ini dicari.
Hingga akhirnya Zia dan Rayyan pun berhasil dipersatukan dalam ikatan suci pernikahan, meski adanya jurang perbedaan yang besar diantara mereka. Namun kisah hidup mereka tidak berakhir sampai disitu, meski kebahagiaan mengiringi mahligai perkawinan mereka. Tetapi hal tersebut juga diikuti hadirnya berbagai macam permasalahan satu persatu yang muncul silih berganti, ditengah-tengah perjalanan bahtera rumah tangga keduanya.
Lalu bagaimana kelanjutan dari kisah perjalanan cinta kedua insan ini? Lantas apa saja usaha-usaha yang dilakukan Zia dan Rayyan demi mempertahankan biduk rumah tangga mereka? Simak kisah selengkapnya dalam novel karya terbaru Riri Suwandi berjudul ‘SOULMATE’.


***

CERPEN - MENGGENANG BIDADARI

     Samarinda hari ini gerimis      Meski kemarin sangat panas      Cuaca mudah sekali berubah      Seperti hati...      Yang selal...